Halaman

Rabu, 23 Mei 2012

Bayi Tabung


Perkembangan Program Bayi Tabung di Indonesia

Meskipun program bayi tabung sudah diperkenalkan sejak tahun 1977, program ini baru dilakukan di Indonesia pada tahun 1988. Keberhasilan program tersebut sekaligus mematahkan anggapan negatif bahwa Indonesia dinilai belum mampu menjalankannya. Saat ini dari 15 juta pasangan usia subur yang terdapat di Indonesia, 12%-15% di antaranya mengalami gangguan kesuburan. Dengan kata lain, satu dari sepuluh pasangan suami isteri (pasutri) tidak mampu menghasilkan keturunan. Gangguan kesuburan bisa terjadi karena beberapa faktor, antara lain: adanya masalah pada sperma baik bentuk maupun jumlahnya, terdapat sumbatan pada saluran telur, munculnya endometriosis derajat sedang dan berat, proses pematangan sel telur mengalami gangguan, ataupun faktor lain yang tidak diketahui penyebabnya.
Dari sekian pasutri yang mengalami gangguan kesuburan dan memilih melakukan program bayi tabung di Indonesia—sebagai solusi untuk mendapatkan keturunan—ternyata jumlahnya relatif sedikit. Yakni hanya sekitar 1500 orang saja. Artinya, jika diambil 10% dari jumlah pasutri yang mengalami gangguan kesuburan hanya sekitar 150-200 pasutri yang melakukan program bayi tabung di Indonesia. Sisanya, mereka lebih memilih melakukannya di luar negeri seperti di Singapura, Malaysia, Australia, Thailand, dan juga Vietnam.

Menurut dr. Andon Hestiantoro, SpOG (K), Kepala Klinik Yasmin Kencana Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), tingginya biaya program bayi tabung di Indonesia menjadi penyebab utama pasien lebih memilih melakukannya di luar negeri karena di sana biayanya lebih murah. Penyebab tingginya biaya tidak lain karena mahalnya obat-obatan yang harus dikonsumsi seorang isteri selama menjalani program tersebut. Selama ini Indonesia memang belum mampu memproduksi sendiri obat-obatan tersebut sehingga akhirnya mengandalkan pada impor. Walhasil, harganya bisa sepuluh kali lipat jika dibandingkan dengan negara Malaysia, Vietnam, maupun Singapura. Apalagi di negara-negara tersebut obat-obatan itu disubsidi penuh oleh pemerintah alias gratis.
Mengupas pembahasan dari sejumlah artikel tentang bayi tabung, faktor biaya ternyata menjadi kendala utama para pasutri dalam menjalani program ini. Risiko lain adalah tingkat kegagalannya juga cukup tinggi. Bahkan ada yang menyebutkan hingga 30%. Dengan demikian, persiapan mental pasti sangat dibutuhkan agar siap menghadapi segala risiko yang akan terjadi. Selain itu, prosedur pelaksanaannya tidak bisa dilakukan secara instan sehingga membutuhkan waktu yang relatif lama. Akibatnya, pasutri yang menjalani program tersebut dituntut sabar, telaten, dan juga disiplin mengikuti prosedur. Tentu saja hal ini menjadi tantangan bagi pasutri yang aktivitasnya super padat. Atau mereka yang tinggal jauh dari klinik yang melayani program bayi tabung. Meskipun begitu, sejumlah tantangan dan kendala yang ada bukan berarti tidak bisa diselesaikan. Komunikasi yang terjalin baik di antara suami isteri serta dukungan dari keluarga dan orang-orang terdekat, sangat memungkinkan bisa membantu menyelesaikan semua itu. Apalagi keturunan merupakan investasi yang tak terukur oleh apapun.
Jadi sebelum Anda menjatuhkan pilihan, tak ada salahnya mencari second opinion dari sejumlah artikel tentang bayi tabung yang banyak dijumpai di internet. Setidaknya, ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi Anda untuk mendapatkan keputusan yang terbaik.

sumber : http://www.bayitabung.net/75/perkembangan-program-bayi-tabung-di-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar