Daerah pesisir merupakan wilayah batas pertemuan antara 2 ekosistem
besar, yaitu ekosistem darat dan ekosistem laut. Kedua ekosistem ini memiliki
karakteristik yang jauh berbeda sehingga daerah pertemuan kedua ekosistem ini
menjadi sangat spesifik dan ekstrim. Fluktuasi suhu, salinitas dan pasang
surut merupakan faktor lingkungan utama yang berpengaruh terhadap
kondisi ekosistem di wilayah tersebut.
Menurut Odum (1994),
daerah perbatasan seperti daerah pesisir dan estuaria menjadi tempat bertemu
bagi banyak spesies organisme yang berasal dari darat dan laut. Adanya
pertemuan 2 ekosistem ini memberikan peluang bagi berbagai jenis organisme
untuk menyeberang dari komunitas yang satu ke komunitas yang lain. Akibatnya,
masing-masing jenis organisme yang berasal dari komunitas yang berbeda tersebut
memiliki sebaran yang saling tumpang tindih dan bahkan memiliki spesies
tersendiri yang tidak ditemukan di wilayah darat dan laut. Kadang-kadangÂ
spesies tertentu memiliki kelimpahan yang lebih besar di daerah
peralihan dibandingkan dengan kedua daerah ekosistem yang mengapitnya.
Pertemuan antara ekosistemÂ
darat dan laut ini dikenal sebagai ekoton dan pada akhirnya
menciptakan suatu keterkaitan ekosistem. Keterkaitan ekosistem
terjadi akibat adanya hubungan timbal-balik, baik yang sifatnya satu arah
maupun dua arah. Hubungan ini akan mencapai titik klimaks pada saat
kesetimbangan dan kestabilan ekosistem telah tercapai. Kecenderungan
meningkatnya keanekaragaman dan kepadatan di daerah pertemuan antar komunitas
dikenal sebagai pengaruh tepi atau “edge effectâ€.
Jika kita mengikuti aliran dari
sebuah sungai yang airnya bersumber dari mata air di pegunungan, maka kita akan
menemukan berbagai macam komunitas berbeda yang dilalui oleh sungai tersebut
hingga tiba di daerah pesisir dan laut. Beberapa komunitas yang dilalui oleh
aliran sungai tersebut diantaranya adalah: hutan pegunungan, hutan dataran
rendah, mangrove, lamun dan terumbu karang. Rangkaian ekosistem dari sekumpulan
komunitas tersebut menciptakan suatu keterkaitan ekosistem yang utuh dan saling
berhubungan antara satu dengan yang lain. Komunitas hutan pegunungan dan
dataran rendah tergolong ke dalam ekosistem darat. Sedangkan komunitas
mangrove, lamun dan terumbu karang termasuk ke dalam ekosistem pesisir. Selain
itu komunitas yang terdapat di pulau-pulau kecil yang terpisah dari pulau induk
atau daratan utama (kontinen) juga digolongkan sebagai ekosistem daerah
pesisir.
Komunitas mangrove, lamun dan
terumbu karang memiliki peran yang saling mendukung bagi keutuhan ekosistem
masing-masing. Mangrove memiliki peran secara fisik sebagai penjebak hara dan
sedimen, pelindung daratan dari abrasi dan intrusi air laut dan menjadi tempat
berlindung bagi banyak organisme laut. Komunitas lamun berperan secara fisik
dengan mengurangi energi gelombang, menstabilkan substrat sehingga mengurangi
kekeruhan, menjebak zat hara, serta menjadi tempat bertelur, memijah, mencari
makan dan membesarkan juvenil bagi organisme. Sedangkan terumbu karang sendiri,
selain berperan mengurangi energi gelombang, juga memperkokoh daerah pesisir
secara keseluruhan dan menjadi habitat bagi banyak jenis organisme laut.
Keterkaitan ekosistem di daerah pesisir dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
keterkaitan ekosistem secara fisik, kimiawi dan biologis.
KETERKAITAN EKOSISTEM
SECARA FISIK
Keterkaitan ekosistem secara
fisik antara mangrove, lamun dan terumbu karang berlangsung 2 arah, baik dari
arah darat menuju ke laut maupun dari laut menuju ke darat. Pergerakan massa
air dari darat atau laut merupakan faktor fisik utama yang mempengaruhi
ekosistem di daerah pesisir. Hogarth (2007), menyatakan bahwa mangrove memiliki
kemampuan untuk menjebak zat hara, memerangkap sedimen dan melindungi pantai
dari hempasan gelombang yang besar. Kemampuan ini berkaitan erat dengan uniknya
struktur akar yang dimiliki mengrove. Bentuk akar yang bercabang-cabang dengan
struktur yang rumit dan kompleks menyebabkan mangrove memiliki kemampuan
membentuk daratan baru dari sedimen yang masuk ke daerah pesisir melalui
sungai. Di India dan
Pakistan, Sungai Indus membawa partikel sedimen terlarut sebanyak 200 juta ton
setiap tahunnya yang sebagian besar diendapkan di daerah delta.
Sedimen yang berasal dari daratan
dapat meningkatkan konsentrasi partikel tersuspensi di daerah pesisir sehingga
kolom air menjadi bertambah keruh. Tingkat kekeruhan yang tinggi dapat
menyebabkan tertutupnya polip karang sehingga menyebabkan proses fotosintesis
di dalam sel-sel zooxanthellae dan proses difusi dalam polip karang
terganggu. Furukawa et al., (1997) dalam Kathiresan 2001, melaporkan
bahwa sekitar 80% dari sedimen yang memasuki Middle Creek di
daerah Cairns Australia saat musim semi, diendapkan oleh mangrove. Banyaknya
sedimen yang diendapkan berkisar antara 10 -12 kg/m2/tahun
Jika mangrove hilang dari daerah tersebut maka sedimen akan terus mengalir
menuju laut dan menimbulkan efek negatif bagi organisme laut.
 Hilangnya mangrove akibat
badai dapat menyebabkan kerusakan yang parah bagi habitat di daerah pesisir.
Pada tahun 1992, badai Andrew menghantam daerah mangrove di
pesisir selatan wilayah Florida Amerika Serikat, menyebabkan tercabutnya
tumbuhan mangrove hingga seluruh akarnya terangkat dari substrat. Akibatnya,
terjadi erosi yang parah di daerah tersebut karena daratan yang sebelumnya
ditumbuhi mangrove, digerus oleh ombak dan angin kemudian dibawa ke laut
menjauhi pantai. Hal ini  menyebabkan kekeruhan yang sangat tinggi di
dalam kolom air dan menyebabkan kematian bagi banyak organisme laut yang hidup
di sekitar daerah tersebut (Orihuela et al., 1991, Bouchon et al.,
1991 dalam Kathiresan 2001).
Badai besar yang terjadi di
daerah Karibia juga dapat mengubah struktur komunitas dari tumbuhan dan hewan
yang hidup di daerah tersebut. Mc Coy et al., 1996 dalam Kathiresan
2001, melaporkan bahwa badai Andrew menyebabkan kerusakan parah bagi jenis
mangrove berukuran besar seperti Laguncuria racemosa. Sedangkan jenis Rhizophora
mangle yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil tidak terpengaruh oleh badai
tersebut. Â Rey et al., 1996 dalam Kathiresan 2001,
melaporkan bahwa badai Andrew mengakibatkan masuknya air dalam jumlah besar ke
daerah yang lebih tinggi dalam hutan mangrove yang sebelumnya tidak
pernah/kurang terendam saat pasang tertinggi. Terendamnya substrat (inundation)
dalam waktu yang lama oleh air laut yang dibawa badai tersebut menyebabkan
matinya jenis Avicennia germinans karena akar nafas jenis mangrove ini
sangat peka, sehingga tidak tahan jika terendam air dalam waktu yang lama.
Daerah yang sebelumnya ditumbuhi oleh Avicennia germinans, beberapa
tahun kemudian diisi oleh Rhizophora mangle. Proses suksesi
ini juga diikuti oleh organisme lain terutama dari kelompok invertebrata yang
hidup di sekitar akar mangrove.
Kathiresan (2001), menyatakan
bahwa kerusakan hutan mangrove akibat badai juga memberikan dampak bagi
organisme yang lain. Badai Gilbert dan Joan yang terjadi di Karibia pada
tahun 1988 menyebabkan kematian massal bagi hewan invertebrata yang hidup di
akar mangrove. Topan Hugo yang menghantam daerah Guadalupe menyebabkan matinya
ikan dalam jumlah yang besar dan hilangnya daerah memijah.
KETERKAITAN EKOSISTEM
SECARA KIMIAWI
Proses-proses kimiawi yang
terjadi dalam ekosistem mangrove juga memberikan pengaruh bagi ekosistem lain
di sekitarnya, seperti ekosistem lamun dan terumbu karang. Sebagian besar
proses kimiawi dalam ekosistem mangrove terjadi di dalam substrat dan kolom
air. Beberapa parameter yang penting dalam proses ini diantaranya adalah
kekeruhan (siltasi), konduktivitas elektrik dan kapasitas pertukaran kation.
Konsentrasi nutrien juga merupakan faktor yang penting. Dalam hal ini, mangrove
termasuk ekosistem yang seimbang karena sangat efektif dalam menyimpan (sink)
nutrien dengan menyerap nitrogen terlarut, fosfor dan silikon. Transfer unsur
hara (fluxes nutrien) terjadi melalui proses fotosintesis dan proses
mineralisasi oleh bakteri (Kathiresan, 2001).
Tumbuhan mangrove berperan
meningkatkan kandungan nutrien dalam substrat melalui serasah berupa daun yang
gugur dan materi organik/debris yang terjebak oleh akar. Substrat akan
kehilangan zat hara lebih cepat jika komunitas mangrove menghilang. Kaly et
al., 1997 dalam Kathiresan 2001 melaporkan, bahwa kerusakan komunitas
mangrove di wilayah Queensland Utara, Australia, menyebabkan hilangnya
konsentrasi nitrogen dan fosfor secara signifikan dari dalam substrat.
Komunitas mangrove seringkali
mendapatkan suplai bahan polutan seperti logam berat yang berasal dari limbah
industri, rumah tangga dan pertanian (pupuk yang larut dalam air). Mangrove
dalam keadaan normal memiliki kandungan logam berat yang rendah. Silva et
al., 1990 dalam Khatiresan 2001, melaporkan bahwa sedimen di mana
komunitas mangrove tumbuh di Teluk Sepetiba, Rio De Janeiro, Brazil, memiliki
kandungan Mn dan Cu sebesar 99 %, bahkan kandungan Fe, Zn, Cr, Pb dan Cd hampir
mencapai 100% dari total kandungan logam berat pada ekosistem mangrove
tersebut. Namun, kandungan logam berat yang terdapat pada jaringan tubuh dari
spesies Rhizophora mangle yang tumbuh di atasnya hanya sebesar
mencapai 1 % saja. Dengan demikian, tumbuhan mangrove memiliki kemampuan untuk
mencegah logam berat memasuki jaringan tubuhnya. Hal ini didukung oleh
penelitian dari Sadiq dan Zaidi 1994 dalam Khatiresan 2001 yang
dilakukan di Teluk Arab, Saudi Arabia. Kedua peneliti tersebut menyatakan bahwa
tidak ada hubungan antara kandungan logam berat yang terdapat di jaringan tubuh
mangrove dengan kandungan logam berat yang terdapat dalam sedimen (substrat)
dimana mangrove tersebut tumbuh.
Tam dan Wom 1997 dalam Khatiresan
2001, menyatakan bahwa rendahnya kandungan logam berat dalam jaringan tubuh
mangrove disebabkan karena beberapa hal: 1). Rendahnya “bioavaibilityâ€
dalam sedimen mangal, 2). mekanisme pengeluaran logam berat dari jaringan tubuh
mangrove, 3). Adaptasi fisiologis yang mencegah terakumulasinya logam berat di
dalam jaringan tubuh mangrove. Akar mangrove berperan sebagai “barrierâ€
yang mencegah logam berat memasuki jaringan tubuh mangrove yang lebih sensitif.
Oksigen dikeluarkan oleh akar mangrove dalam substrat membentuk plak besi di
permukaan akar yang berperan mencegah logam berat memasuki sel dalam akar. Jika
logam berat memasuki jaringan, terdapat mekanisme yang sangat jelas untuk
mencegah zat yang berbahaya tersebut masuk ke dalam jaringan tubuh mangrove.
Konsentrasi logam berat pada benih Rhizophora apiculata di ketahui
mengalami penurunan dari akar ke batang dan dari batang ke daun (Khatiresan,
2001).Â
Faktor fisik dan kimiawi dari
mangrove secara efisien dapat menjebak logam berat yang tidak dapat diakumulasi
secara biologis. Pengendapan yang cepat dari logam sulfida yang stabil dalam
kondisi anoksik mengurangi bioavailabilitas dari logam trace dalam
sedimen. Elemen yang paling aktif seperti Mn dan Zn akan terendap dalam ikatan
fraksi yang kuat. Dengan demikian, komunitas mangrove mampu mengontrol polusi
logam berat di daerah tropis (Kathiresan, 2001).
Kemampuan mangrove untuk
mengabsorbsi logam berat dalam sedimen merupakan salah satu contoh
dari bentuk keterkaitan ekosistem di daerah pesisir. Logam berat merupakan substansi yang
bersifat toksik sehingga sangat berbahaya bagi organisme laut. Adanya reduksi
logam berat yang terbawa oleh aliran air dan partikel tersuspensi oleh mangrove
akan menjamin sehatnya ekosistem lamun dan terumbu karang. Namun, jika
ekosistem mangrove menghilang, maka keberadaan ekosistem lamun dan terumbu
karang juga akan terancam. Meningkatnya konsentrasi logam berat yang bersifat
toksik dalam kolom air akan menimbulkan gangguan fisiologis dalam jaringan
tubuh organisme laut. Â Hal ini akan mendorong munculnya penyakit yang cepat
atau lambat dapat memusnahkan komunitas lamun dan terumbu karang. Kasus yang terjadi di pesisir pantai utara
(North Sea dan Wadden Sea) di Jerman adalah merupakan salah satu contoh.
Hilangnya komunitas lamun di wilayah tersebut menyebabkan degradasi substrat
sehingga upaya untuk merehabilitasi kembali vegetasi lamun di daerah tersebut
tidak pernah berhasil. Komunitas lamun yang dahulunya tumbuh subur dan tersebar
luas kini menghilang akibat pencemaran limbah industri dan rumah tangga. Limbah
tersebut  dibuang melalui Sungai Rheine sejak awal revolusi industri pada
abad ke 18 – 19. Para peneliti biologi laut memperkirakan bahwa komunitas lamun
yang hilang dari pesisir pantai tersebut tidak akan pernah dapat kembali lagi
(Harald Asmus dan Raghnild Asmus, 2006).
Fairhurst dan Graham (2003),
melaporkan bahwa keanekaragaman jenis organisme di daerah padang lamun Mainly
Lagoon, pesisir Sydney Australia, menurun seiring dengan meningkatnya
konsentrasi nutrien dalam kolom air. Tingginya konsentrasi nutrien dalam kolom
air memicu pertumbuhan epifit yang berlebihan (blooming) pada daun lamun
sehingga menutupi hampir seluruh permukaan komunitas lamun. Akibatnya, banyak
tumbuhan dan organisme lain yang berada pada lapisan bawah tidak mendapatkan
suplai cahaya dan Oksigen sehingga mengalami kematian. Di daerah Mainly Lagoon
tersebut tidak ditemukan adanya komunitas saltmarsh atau mangrove. Dari kasus
ini dapat disimpulkan bahwa peran mangrove sebagai penjebak zat hara amatlah
penting. Tingginya konsentrasi zat hara dalam kolom air tidak selamanya akan
menjamin meningkatnya kualitas ekosistem di daerah lamun, bahkan jika
konsentrasi nutrien melewati ambang batas akan menyebabkan komunitas lamun
menjadi musnah.
Menurut Barnes dan Hughes
(1999), mangrove menghasilkan serasah sebanyak 20 ton/ha/tahun
dengan produktifitas primer sebesar 0.5-2.4 gram C/m2/hari.
Sedangkan Raffaelli dan Hawkins (1996), menyatakan bahwa komunitas mangrove
menghasilkan produktifitas primer sebesar 310 gram C/m2/tahun.
Sebagian besar dari serasah atau bahan organik yang berada di daerah mangrove
tidak langsung dimanfaatkan oleh organisme melainkan akan memasuki
jaring-jaring makanan dalam bentuk bahan organik terlarut (Dissolved
Organic Matter).
Mann (2000) menyatakan bahwa
rata-rata produksi serasah mangrove yang berasal dari daun dan ranting yang
gugur mencapai 0,5 – 1,0 kg/m2/tahun. Dari jumlah
tersebut sekitar 50% akan hanyut ke luar dari daerah mangrove
saat pasang dan terbawa menuju ke ekosistem lamun dan terumbu karang.
Proses transfer nutrien dari
daratan menuju daerah mangrove, lamun dan terumbu karang sangat kompleks dan
menarik untuk dipelajari karena menunjukkan adanya hubungan keterkaitan di
antara ekosistem yang ada di daerah pesisir. Bahan organik yang dibawa oleh
aliran sungai dan serasah mangrove mengalami proses dekomposisi terlebih dahulu
sebelum dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai unsur hara. Saat daun mangrove
gugur dari pohon dan jatuh di permukaan air, maka dimulailah proses dekomposisi
bahan organik. Daun mangrove yang jatuh di air atau lumpur yang becek dan
lembab akan membusuk perlahan-lahan akibat proses dekomposisi oleh bakteri dan
jamur. Proses dekomposisi ini sangat penting karena mengubah serat daun
mangrove yang tidak dapat dicerna menjadi menjadi serat yang lebih mudah
dicerna. Serasah mangrove yang sudah membusuk tadi kemudian akan dirobek,
dicabik-cabik menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan dicerna oleh
kepiting dan hewan invertebrata lainnya. Potongan-potongan ini dikenal sebagai POM
(Particulate Organic Matter). Setelah dicerna, terbentuk partikel
organik yang lebih halus dan lebih sederhana dalam bentuk feses (kotoran).
Feses ini akan dicerna lebih lanjut oleh organisme pemakan deposit (deposit
feeder) menghasilkan feses yang lebih halus lagi dan kemudian dimanfaatkan
oleh organisme penyaring makanan (filter feeder)
Proses dekomposisi akibat
autolisis jaringan mati dan aktifitas bakteri akan menghasilkan bahan
organik yang sifatnya terlarut yang dikenal sebagai DOM (Dissolved
Organic Matter). Bahan ini akan dimanfaatkan kembali oleh bakteri, diserap
oleh hewan invertebrata atau berikatan dengan partikel tersuspensi dan gelembung
busa melalui proses fisik-kimiawi sebelum mengendap di dasar perairan dan
dimanfaatkan oleh organisme yang hidup dalam sedimen . Sebagian bahan organik
akan terhanyut menuju ekosistem lamun dan terumbu karang. Bahan Organik (DOM)
yang terlarut dalam kolom air akan dimanfaatkan oleh fitoplankton sebagai
produsen primer membentuk partikel organik yang lebih kompleks melalui proses
fotosintesis. Fitoplankton kemudian dimakan oleh zooplankton, zooplankton
dimakan oleh juvenil ikan dan seterusnya. Dengan demikian terjadi transfer
energi dari mangrove ke dalam jaring-jaring makanan melalui aktifitas
dekomposisi dari mikroorganisme (Mann, 2000).
KETERKAITAN EKOSISTEM
SECARA BIOLOGIS
 Hubungan keterkaitan
ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang sudah diduga sejak lama
oleh para ahli ekologi. Namun kepastian tentang bentuk keterkaitan antara
ketiga ekosistem tersebut secara biologis masih belum banyak dibuktikan.
 Salah satu penelitian yang dilakukan untuk membuktikan adanya
keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang tersebut
dilaksanakan oleh Nagelkerken et al., (2000), di Pulau Curacao,
Karibia. Penelitian tersebut  dilakukan untuk membuktikan apakah daerah
mangrove dan lamun benar-benar secara mutlak (obligat) dibutuhkan oleh ikan
karang untuk membesarkan ikan yang masih juvenil ataukah hanya sebagai tempat
alternatif (fakulatif) saja untuk memijah. Lokasi penelitian dibagi menjadi 4
jenis biotope (habitat) yang berbeda, yaitu : daerah padang lamun di teluk yang
ditumbuhi komunitas mangrove, daerah padang lamun di teluk yang tidak ditumbuhi
mangrove (tanpa mangrove), daerah berlumpur di teluk yang ditumbuhi lamun
dan mangrove serta daerah berlumpur di teluk yang tidak ditumbuhi lamun dan
mangrove (daerah kosong tanpa vegetasi).
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, Nagelkerken et al., (2000) melaporkan bahwa beberapa
spesies ikan menggunakan daerah lamun dan mangrove sebagai daerah
asuhan tempat membesarkan juvenile (nursery
ground). Kelimpahan dan kekayaan jenis (species
richness) tertinggi ditemukan di daerah padang lamun dan daerah berlumpur
yang sekelilingnya ditumbuhi oleh vegetasi mangrove. Sedangkan kelimpahan dan
kekayaan jenis terendah ditemukan pada daerah berlumpur yang
tidak memiliki vegetasi. Daerah padang lamun dan mangrove menjadi tempat
perawatan dan pembesaran juvenile yang bersifat obligat bagi
spesies ikan : Ocyurus chrysurus dan Scarus iserti. Daerah
padang lamun tanpa mangrove menjadi daerah nursery ground obligat
bagi Haemulon parrai, Haemulon sciurus, Lutjanus apodus, Lutjanus griseus,
Sparisoma chrysopterum dan Sphyraena barracuda. Daerah berlumpur
yang ditumbuhi lamun dan mangrove menjadi daerah nursery ground obligat
bagi Lutjanus analis. Daerah padang lamun dan mangrove
menjadi daerah nursery ground fakultatif bagi Chaetodon
capistratus, Gerres cinereus, Haemulon flavolineatum dan Lutjanus
mahagoni.
Keterkaitan ekosistem antara
mangrove, lamun dan terumbu karang menciptakan suatu variasi habitat yang
mempertinggi keanekaragaman jenis organisme. Hal ini membuktikan adanya pengaruh
tepi (edge effect) seperti tampak pada penelitian Nagelkerken
et al. (2000). Adanya variasi habitat menciptakan daerah tepi yang
saling tumpang tindih. Hal ini menimbulkan suatu daerah pertemuan antar spesies
sehingga meningkatkan keanekaragaman jenis organisme di daerah tersebut.
Sedangkan di daerah yang memiliki habitat seragam atau tidak memiliki
vegetasi hanya mendukung sedikit organisme. D’Avanzo dan Musante (2004),
menyatakan bahwa beberapa species ikan terumbu karang melakukan migrasi bolak
balik antara terumbu karang, lamun dan mangrove. Sedangkan Mumby (2006),
menyatakan bahwa biomassa dari jenis ikan terumbu karang akan meningkat lebih
dari dua kali lipat jika komunitas terumbu karang terhubung dengan daerah
mangrove yang masih terpelihara dengan baik karena proses reproduksi dan
regenerasi tidak terganggu.
Hubungan keterkaitan ekosistem
antara mangrove, lamun dan terumbu karang juga ditunjukkan oleh migrasi ikan
karang menuju ke padang lamun dan hutan mangrove. Dari hasil penelitian yang
telah dilakukan, Versteegh (2003a, 2003b) melaporkan bahwa berdasarkan waktunya
migrasi ikan dapat dibagi menjadi 3 seperti diuraikan di bawah ini:
- Migrasi yang dilakukan oleh ikan dari tempat
satu ke tempat yang lain sesuai dengan tahapan atau daur hidupnya.
Misalnya beberapa jenis dari ikan melakukan migrasi ke estuaria saat masih
dalam tahap juvenil dan bermigrasi kembali ke laut dalam saat dewasa.
- Migrasi yang dilakukan pada waktu tertentu
setiap tahun. Migrasi ini umumnya dilakukan untuk mencari lingkungan baru
yang memiliki banyak sumber makanan, Â memiliki kisaran suhu tertentu
atau mencari tempat untuk memijah dan bertelur. Migrasi ini dikenal
sebagai migrasi musiman.
- Migrasi yang dilakukan setiap hari. Migrasi
ini umumnya dimulai saat senja. Beberapa jenis ikan yang bersifat
nocturnal (aktif pada malam hari) bergerak dari tempat beristirahat di
gua-gua atau di daerah terumbu karang menuju perairan yang lebih dangkal
seperti daerah lamun dan mangrove untuk mencari makan. Saat fajar
ikan-ikan tersebut akan melakukan migrasi kembali ke tempat yang lebih
dalam untuk beristirahat di gua atau di daerah terumbu karang. Migrasi ini
disebut migrasi senja (twilight migration). Adapula ikan yang
melakukan migrasi mengikuti pola pasang surut. Ikan-ikan dari daerah
terumbu karang atau ikan dari laut terbuka akan bergerak menuju padang
lamun dan mangrove saat pasang naik untuk mencari makan dan akan kembali
saat surut. Migrasi ini disebut migrasi pasang surut (tidal migration).
Bukti adanya migrasi harian dari
ikan karang menuju ke ekosistem lamun telah dilaporkan oleh Beets et.al.,
(2003). Hasil penelitian yang dilakukan terhadap ikan karang dari jenis
“Bluestriped Grunt†Haemulon sciurus dewasa dan juvenil
dengan menggunakan tagging pasif dan telemetri sonik menunjukkan adanya
pergerakan jenis ikan tersebut dari daerah terumbu karang menuju ke padang
lamun pada malam hari. Namun tidak dilaporkan aktivitas apa yang dilakukan oleh
ikan tersebut di daerah lamun. Akan tetapi kuat dugaan bahwa ikan dewasa
melakukan migrasi untuk mencari makan sedangkan ikan juvenil untuk berlindung
dari pemangsa.
Upston dan Booth (2003),
melakukan penelitian dengan menggunakan habitat buatan yang berisi lamun tiruan
(artificial seagrass) untuk menentukan penyebab bermigrasinya ikan
menuju ke padang lamun. Lamun buatan/tiruan tersebut ditempatkan pada daerah
yang berdekatan dengan komunitas lamun alami dari jenis Zostera capricorni
di Teluk Botany New South Wales, Australia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
jenis ikan “Tarwhineâ€Â Rhabdosargus sarba mendominasi populasi
ikan pada habitat buatan dan alami. Juvenil dari berbagai jenis ikan juga
ditemukan di habitat buatan dari lamun artificial setelah di pasang
selama 6 hari. Karena daun lamun tiruan tidak memungkinkan untuk menjadi bahan
makanan bagi ikan, maka kuat dugaan bahwa sebagian besar ikan yang yang ada di
habitat buatan tersebut memanfaatkan komunitas lamun tiruan tersebut sebagai
tempat untuk berlindung. Namun, perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan
apakah habitat lamun buatan digunakan sebagai tempat untuk mencari makan,
mengingat juvenil ikan umumnya hanya memakan Zooplankton atau organisme
invertebrata yang melekat pada daun lamun yang asli (Upston dan Booth 2003).
Dari proses migrasi yang
telah diuraikan di atas dapat diketahui bahwa banyak jenis ikan membutuhkan
beberapa ekosistem yang berbeda untuk hidup. Dengan demikian, hilangnya satu
ekosistem akan merugikan banyak spesies organisme laut. Jika ekosistem mangrove
atau lamun hilang, maka banyak organisme yang hidup di daerah terumbu karang
atau laut dalam yang akan mengalami kerugian karena kehilangan tempat untuk
mencari makan, memijah, membesarkan anak dan berlindung dari pemangsa. Adanya
keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang menyediakan
ruang yang lebih luas dan habitat yang lebih bervariasi. Hal ini berarti akan meningkatkan daya dukung bagi
kehidupan organisme serta menciptakan suatu rantai makanan dan jaring-jaring
makanan yang lebih kompleks. Tidak mengherankan apabila keanekaragaman jenis
organisme laut relatif tinggi di daerah pertemuan antara ketiga ekosistem
tersebut.
Beberapa jenis burung yang hidup
di daerah mangrove memanfaatkan padang lamun sebagai tempat mencari makanan
saat surut. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk keterkaitan secara
biologis antara ekosistem mangrove dengan ekosistem padang lamun. Jenis-jenis
organisme yang menjadi bahan makanan bagi bangau terdiri dari hewan invertebrata
kecil seperti udang, ikan, cacing polychaeta, siput dan kerang yang terbenam di
dalam pasir atau melekat di daun lamun. Kehadiran burung-burung tersebut juga
menciptakan suatu keterkaitan secara kimiawi dalam bentuk siklus nitrogen
dimana konsentrasi N yang ada di daerah padang lamun akan dipindahkan ke hutan
mangrove. Ikan yang dimakan bangau mengandung banyak protein yang akan dicerna
dan diterima oleh mangrove dalam bentuk feses (kotoran burung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar