Halaman

Rabu, 06 Juni 2012

Keterkaitan Ekosistem di Wilayah Pesisir

Daerah pesisir merupakan wilayah batas pertemuan antara 2 ekosistem besar, yaitu ekosistem darat dan ekosistem laut. Kedua ekosistem ini memiliki karakteristik yang jauh berbeda sehingga daerah pertemuan kedua ekosistem ini menjadi sangat spesifik dan ekstrim. Fluktuasi suhu, salinitas dan pasang surut  merupakan faktor lingkungan utama yang berpengaruh terhadap kondisi ekosistem di wilayah tersebut.

Menurut Odum (1994), daerah perbatasan seperti daerah pesisir dan estuaria menjadi tempat bertemu bagi banyak spesies organisme yang berasal dari darat dan laut. Adanya pertemuan 2 ekosistem ini memberikan peluang bagi berbagai jenis organisme untuk menyeberang dari komunitas yang satu ke komunitas yang lain. Akibatnya, masing-masing jenis organisme yang berasal dari komunitas yang berbeda tersebut memiliki sebaran yang saling tumpang tindih dan bahkan memiliki spesies tersendiri yang tidak ditemukan di wilayah darat dan laut. Kadang-kadang  spesies tertentu memiliki kelimpahan yang lebih besar di  daerah peralihan dibandingkan dengan kedua daerah ekosistem yang mengapitnya.

Pertemuan antara ekosistem  darat dan laut ini dikenal sebagai ekoton dan pada akhirnya menciptakan suatu keterkaitan ekosistem. Keterkaitan ekosistem terjadi akibat adanya hubungan timbal-balik, baik yang sifatnya satu arah maupun dua arah. Hubungan ini akan mencapai titik klimaks pada saat kesetimbangan dan kestabilan ekosistem telah tercapai. Kecenderungan meningkatnya keanekaragaman dan kepadatan di daerah pertemuan antar komunitas dikenal sebagai pengaruh tepi atau “edge effect”.

Jika kita mengikuti aliran dari sebuah sungai yang airnya bersumber dari mata air di pegunungan, maka kita akan menemukan berbagai macam komunitas berbeda yang dilalui oleh sungai tersebut hingga tiba di daerah pesisir dan laut. Beberapa komunitas yang dilalui oleh aliran sungai tersebut diantaranya adalah: hutan pegunungan, hutan dataran rendah, mangrove, lamun dan terumbu karang. Rangkaian ekosistem dari sekumpulan komunitas tersebut menciptakan suatu keterkaitan ekosistem yang utuh dan saling berhubungan antara satu dengan yang lain. Komunitas hutan pegunungan dan dataran rendah tergolong ke dalam ekosistem darat. Sedangkan komunitas mangrove, lamun dan terumbu karang termasuk ke dalam ekosistem pesisir. Selain itu komunitas yang terdapat di pulau-pulau kecil yang terpisah dari pulau induk atau daratan utama (kontinen) juga digolongkan sebagai ekosistem daerah pesisir.

Komunitas mangrove, lamun dan terumbu karang memiliki peran yang saling mendukung bagi keutuhan ekosistem masing-masing. Mangrove memiliki peran secara fisik sebagai penjebak hara dan sedimen, pelindung daratan dari abrasi dan intrusi air laut dan menjadi tempat berlindung bagi banyak organisme laut. Komunitas lamun berperan secara fisik dengan mengurangi energi gelombang, menstabilkan substrat sehingga mengurangi kekeruhan, menjebak zat hara, serta menjadi tempat bertelur, memijah, mencari makan dan membesarkan juvenil bagi organisme. Sedangkan terumbu karang sendiri, selain berperan mengurangi energi gelombang, juga memperkokoh daerah pesisir secara keseluruhan dan menjadi habitat bagi banyak jenis organisme laut. Keterkaitan ekosistem di daerah pesisir dapat dibagi menjadi 3, yaitu: keterkaitan ekosistem secara fisik, kimiawi dan biologis.



KETERKAITAN EKOSISTEM SECARA FISIK

Keterkaitan ekosistem secara fisik antara mangrove, lamun dan terumbu karang berlangsung 2 arah, baik dari arah darat menuju ke laut maupun dari laut menuju ke darat. Pergerakan massa air dari darat atau laut merupakan faktor fisik utama yang mempengaruhi ekosistem di daerah pesisir. Hogarth (2007), menyatakan bahwa mangrove memiliki kemampuan untuk menjebak zat hara, memerangkap sedimen dan melindungi pantai dari hempasan gelombang yang besar. Kemampuan ini berkaitan erat dengan uniknya struktur akar yang dimiliki mengrove. Bentuk akar yang bercabang-cabang dengan struktur yang rumit dan kompleks menyebabkan mangrove memiliki kemampuan membentuk daratan baru dari sedimen yang masuk ke daerah pesisir melalui sungai. Di India dan Pakistan, Sungai Indus membawa partikel sedimen terlarut sebanyak 200 juta ton setiap tahunnya yang sebagian besar diendapkan di daerah delta.

Sedimen yang berasal dari daratan dapat meningkatkan konsentrasi partikel tersuspensi di daerah pesisir sehingga kolom air menjadi bertambah keruh. Tingkat kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan tertutupnya polip karang sehingga menyebabkan proses fotosintesis di dalam sel-sel zooxanthellae dan proses difusi dalam polip karang terganggu. Furukawa et al., (1997) dalam Kathiresan 2001, melaporkan bahwa sekitar 80% dari sedimen yang memasuki Middle Creek di daerah Cairns Australia saat musim semi, diendapkan oleh mangrove. Banyaknya sedimen yang diendapkan berkisar antara 10 -12 kg/m2/tahun Jika mangrove hilang dari daerah tersebut maka sedimen akan terus mengalir menuju laut dan menimbulkan efek negatif bagi organisme laut.
 Hilangnya mangrove akibat badai dapat menyebabkan kerusakan yang parah bagi habitat di daerah pesisir. Pada tahun 1992, badai Andrew menghantam daerah mangrove di pesisir selatan wilayah Florida Amerika Serikat, menyebabkan tercabutnya tumbuhan mangrove hingga seluruh akarnya terangkat dari  substrat. Akibatnya, terjadi erosi yang parah di daerah tersebut karena daratan yang sebelumnya ditumbuhi mangrove, digerus oleh ombak dan angin kemudian dibawa ke laut menjauhi pantai. Hal ini  menyebabkan kekeruhan yang sangat tinggi di dalam kolom air dan menyebabkan kematian bagi banyak organisme laut yang hidup di sekitar daerah tersebut (Orihuela et al., 1991, Bouchon et al., 1991 dalam Kathiresan 2001).
Badai besar yang terjadi di daerah Karibia juga dapat mengubah struktur komunitas dari tumbuhan dan hewan yang hidup di daerah tersebut. Mc Coy et al., 1996 dalam Kathiresan 2001, melaporkan bahwa badai Andrew menyebabkan kerusakan parah bagi jenis mangrove berukuran besar seperti Laguncuria racemosa. Sedangkan jenis Rhizophora mangle yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil tidak terpengaruh oleh badai tersebut.  Rey et al., 1996 dalam Kathiresan 2001, melaporkan bahwa badai Andrew mengakibatkan masuknya air dalam jumlah besar ke daerah yang lebih tinggi dalam hutan mangrove yang sebelumnya tidak pernah/kurang terendam saat pasang tertinggi. Terendamnya substrat (inundation) dalam waktu yang lama oleh air laut yang dibawa badai tersebut menyebabkan matinya jenis Avicennia germinans karena akar nafas jenis mangrove ini sangat peka, sehingga tidak tahan jika terendam air dalam waktu yang lama. Daerah yang sebelumnya ditumbuhi oleh Avicennia germinans, beberapa tahun kemudian diisi oleh Rhizophora mangle. Proses suksesi ini juga diikuti oleh organisme lain terutama dari kelompok invertebrata yang hidup di sekitar akar mangrove.

Kathiresan (2001), menyatakan bahwa kerusakan hutan mangrove akibat badai juga memberikan dampak bagi organisme yang lain. Badai Gilbert dan Joan  yang terjadi di Karibia pada tahun 1988 menyebabkan kematian massal bagi hewan invertebrata yang hidup di akar mangrove. Topan Hugo yang menghantam daerah Guadalupe menyebabkan matinya ikan dalam jumlah yang besar dan hilangnya daerah memijah.

KETERKAITAN EKOSISTEM SECARA KIMIAWI

Proses-proses kimiawi yang terjadi dalam ekosistem mangrove juga memberikan pengaruh bagi ekosistem lain di sekitarnya, seperti ekosistem lamun dan terumbu karang. Sebagian besar proses kimiawi dalam ekosistem mangrove terjadi di dalam substrat dan kolom air. Beberapa parameter yang penting dalam proses ini diantaranya adalah kekeruhan (siltasi), konduktivitas elektrik dan kapasitas pertukaran kation. Konsentrasi nutrien juga merupakan faktor yang penting. Dalam hal ini, mangrove termasuk ekosistem yang seimbang karena sangat efektif dalam menyimpan (sink) nutrien dengan menyerap nitrogen terlarut, fosfor dan silikon. Transfer unsur hara (fluxes nutrien) terjadi melalui proses fotosintesis dan proses mineralisasi oleh bakteri (Kathiresan, 2001).

Tumbuhan mangrove berperan meningkatkan kandungan nutrien dalam substrat melalui serasah berupa daun yang gugur dan materi organik/debris yang terjebak oleh akar. Substrat akan kehilangan zat hara lebih cepat jika komunitas mangrove menghilang. Kaly et al., 1997 dalam Kathiresan 2001 melaporkan, bahwa kerusakan komunitas mangrove di wilayah Queensland Utara, Australia, menyebabkan hilangnya konsentrasi nitrogen dan fosfor secara signifikan dari dalam substrat.

Komunitas mangrove seringkali mendapatkan suplai bahan polutan seperti logam berat yang berasal dari limbah industri, rumah tangga dan pertanian (pupuk yang larut dalam air). Mangrove dalam keadaan normal memiliki kandungan logam berat yang rendah. Silva et al., 1990 dalam Khatiresan 2001, melaporkan bahwa sedimen di mana komunitas mangrove tumbuh di Teluk Sepetiba, Rio De Janeiro, Brazil, memiliki kandungan Mn dan Cu sebesar 99 %, bahkan kandungan Fe, Zn, Cr, Pb dan Cd hampir mencapai 100% dari total kandungan logam berat pada ekosistem mangrove tersebut. Namun, kandungan logam berat yang terdapat pada jaringan tubuh dari spesies Rhizophora mangle yang tumbuh di atasnya hanya sebesar mencapai 1 % saja. Dengan demikian, tumbuhan mangrove memiliki kemampuan untuk mencegah logam berat memasuki jaringan tubuhnya. Hal ini didukung oleh penelitian  dari Sadiq dan Zaidi 1994 dalam Khatiresan 2001 yang dilakukan di Teluk Arab, Saudi Arabia. Kedua peneliti tersebut menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kandungan logam berat yang terdapat di jaringan tubuh mangrove dengan kandungan logam berat yang terdapat dalam sedimen (substrat) dimana mangrove tersebut tumbuh.
Tam dan Wom 1997 dalam Khatiresan 2001, menyatakan bahwa rendahnya kandungan logam berat dalam jaringan tubuh mangrove disebabkan karena beberapa hal: 1). Rendahnya “bioavaibility” dalam sedimen mangal, 2). mekanisme pengeluaran logam berat dari jaringan tubuh mangrove, 3). Adaptasi fisiologis yang mencegah terakumulasinya logam berat di dalam jaringan tubuh mangrove. Akar mangrove berperan sebagai “barrier” yang mencegah logam berat memasuki jaringan tubuh mangrove yang lebih sensitif. Oksigen dikeluarkan oleh akar mangrove dalam substrat membentuk plak besi di permukaan akar yang berperan mencegah logam berat memasuki sel dalam akar. Jika logam berat memasuki jaringan, terdapat mekanisme yang sangat jelas untuk mencegah zat yang berbahaya tersebut masuk ke dalam jaringan tubuh mangrove. Konsentrasi logam berat pada benih Rhizophora apiculata di ketahui mengalami penurunan dari akar ke batang dan dari batang ke daun (Khatiresan, 2001). 

Faktor fisik dan kimiawi dari mangrove secara efisien dapat menjebak logam berat yang tidak dapat diakumulasi secara biologis. Pengendapan yang cepat dari logam sulfida yang stabil dalam kondisi anoksik mengurangi bioavailabilitas dari logam trace dalam sedimen. Elemen yang paling aktif seperti Mn dan Zn akan terendap dalam ikatan fraksi yang kuat. Dengan demikian, komunitas mangrove mampu mengontrol polusi logam berat di daerah tropis (Kathiresan, 2001).

Kemampuan mangrove untuk mengabsorbsi logam berat dalam sedimen merupakan salah satu contoh dari bentuk keterkaitan ekosistem di daerah pesisir. Logam berat merupakan substansi yang bersifat toksik sehingga sangat berbahaya bagi organisme laut. Adanya reduksi logam berat yang terbawa oleh aliran air dan partikel tersuspensi oleh mangrove akan menjamin sehatnya ekosistem lamun dan terumbu karang. Namun, jika ekosistem mangrove menghilang, maka keberadaan ekosistem lamun dan terumbu karang juga akan terancam. Meningkatnya konsentrasi logam berat yang bersifat toksik dalam kolom air akan menimbulkan gangguan fisiologis dalam jaringan tubuh organisme laut.  Hal ini akan mendorong munculnya penyakit yang cepat atau lambat dapat memusnahkan komunitas lamun dan terumbu karang. Kasus yang terjadi di pesisir pantai utara (North Sea dan Wadden Sea) di Jerman adalah merupakan salah satu contoh. Hilangnya komunitas lamun di wilayah tersebut menyebabkan degradasi substrat sehingga upaya untuk merehabilitasi kembali vegetasi lamun di daerah tersebut tidak pernah berhasil. Komunitas lamun yang dahulunya tumbuh subur dan tersebar luas kini menghilang akibat pencemaran limbah industri dan rumah tangga. Limbah tersebut  dibuang melalui Sungai Rheine sejak awal revolusi industri pada abad ke 18 – 19. Para peneliti biologi laut memperkirakan bahwa komunitas lamun yang hilang dari pesisir pantai tersebut tidak akan pernah dapat kembali lagi (Harald Asmus dan Raghnild Asmus, 2006).

Fairhurst dan Graham (2003), melaporkan bahwa keanekaragaman jenis organisme di daerah padang lamun Mainly Lagoon, pesisir Sydney Australia, menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi nutrien dalam kolom air. Tingginya konsentrasi nutrien dalam kolom air memicu pertumbuhan epifit yang berlebihan (blooming) pada daun lamun sehingga menutupi hampir seluruh permukaan komunitas lamun. Akibatnya, banyak tumbuhan dan organisme lain yang berada pada lapisan bawah tidak mendapatkan suplai cahaya dan Oksigen sehingga mengalami kematian. Di daerah Mainly Lagoon tersebut tidak ditemukan adanya komunitas saltmarsh atau mangrove. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa peran mangrove sebagai penjebak zat hara amatlah penting. Tingginya konsentrasi zat hara dalam kolom air tidak selamanya akan menjamin meningkatnya kualitas ekosistem di daerah lamun, bahkan jika konsentrasi nutrien melewati ambang batas akan menyebabkan komunitas lamun menjadi musnah.

Menurut  Barnes dan Hughes (1999), mangrove menghasilkan  serasah sebanyak 20 ton/ha/tahun dengan produktifitas primer sebesar 0.5-2.4 gram C/m2/hari. Sedangkan Raffaelli dan Hawkins (1996), menyatakan bahwa komunitas mangrove menghasilkan produktifitas primer sebesar 310 gram C/m2/tahun. Sebagian besar dari serasah atau bahan organik yang berada di daerah mangrove tidak langsung dimanfaatkan oleh organisme melainkan akan memasuki jaring-jaring makanan dalam bentuk bahan organik terlarut (Dissolved Organic Matter).

Mann (2000) menyatakan bahwa rata-rata produksi serasah mangrove yang berasal dari daun dan ranting yang gugur mencapai 0,5 – 1,0 kg/m2/tahun. Dari jumlah tersebut sekitar 50% akan hanyut ke luar dari daerah mangrove saat pasang dan terbawa menuju ke ekosistem lamun dan terumbu karang.

Proses transfer nutrien dari daratan menuju daerah mangrove, lamun dan terumbu karang sangat kompleks dan menarik untuk dipelajari karena menunjukkan adanya hubungan keterkaitan di antara ekosistem yang ada di daerah pesisir. Bahan organik yang dibawa oleh aliran sungai dan serasah mangrove mengalami proses dekomposisi terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan lebih lanjut sebagai unsur hara. Saat daun mangrove gugur dari pohon dan jatuh di permukaan air, maka dimulailah proses dekomposisi bahan organik. Daun mangrove yang jatuh di air atau lumpur yang becek dan lembab akan membusuk perlahan-lahan akibat proses dekomposisi oleh bakteri dan jamur. Proses dekomposisi ini sangat penting karena mengubah serat daun mangrove yang tidak dapat dicerna menjadi menjadi serat yang lebih mudah dicerna. Serasah mangrove yang sudah membusuk tadi kemudian akan dirobek, dicabik-cabik menjadi potongan-potongan yang lebih kecil dan dicerna oleh kepiting dan hewan invertebrata lainnya. Potongan-potongan ini dikenal sebagai POM (Particulate Organic Matter). Setelah dicerna, terbentuk partikel organik yang lebih halus dan lebih sederhana dalam bentuk feses (kotoran). Feses ini akan dicerna lebih lanjut oleh organisme pemakan deposit (deposit feeder) menghasilkan feses yang lebih halus lagi dan kemudian dimanfaatkan oleh organisme penyaring makanan (filter feeder)
Proses dekomposisi akibat autolisis jaringan mati dan aktifitas bakteri akan menghasilkan bahan organik  yang sifatnya terlarut yang dikenal sebagai DOM (Dissolved Organic Matter). Bahan ini akan dimanfaatkan kembali oleh bakteri, diserap oleh hewan invertebrata atau berikatan dengan partikel tersuspensi dan gelembung busa melalui proses fisik-kimiawi sebelum mengendap di dasar perairan dan dimanfaatkan oleh organisme yang hidup dalam sedimen . Sebagian bahan organik akan terhanyut menuju ekosistem lamun dan terumbu karang. Bahan Organik (DOM) yang terlarut dalam kolom air akan dimanfaatkan oleh fitoplankton sebagai produsen primer membentuk partikel organik yang lebih kompleks melalui proses fotosintesis. Fitoplankton kemudian dimakan oleh zooplankton, zooplankton dimakan oleh juvenil ikan dan seterusnya. Dengan demikian terjadi transfer energi dari mangrove ke dalam jaring-jaring makanan melalui aktifitas dekomposisi  dari mikroorganisme (Mann, 2000).


KETERKAITAN EKOSISTEM SECARA BIOLOGIS

 Hubungan keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang sudah diduga sejak lama oleh para ahli ekologi. Namun kepastian tentang bentuk keterkaitan antara ketiga ekosistem tersebut secara biologis masih belum banyak dibuktikan.  Salah satu penelitian yang dilakukan untuk membuktikan adanya keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang tersebut dilaksanakan oleh Nagelkerken et al., (2000), di Pulau Curacao, Karibia. Penelitian tersebut  dilakukan untuk membuktikan apakah daerah mangrove dan lamun benar-benar secara mutlak (obligat) dibutuhkan oleh ikan karang untuk membesarkan ikan yang masih juvenil ataukah hanya sebagai tempat alternatif (fakulatif) saja untuk memijah. Lokasi penelitian dibagi menjadi 4 jenis biotope (habitat) yang berbeda, yaitu : daerah padang lamun di teluk yang ditumbuhi komunitas mangrove, daerah padang lamun di teluk yang tidak ditumbuhi mangrove (tanpa mangrove), daerah  berlumpur di teluk yang ditumbuhi lamun dan mangrove serta daerah berlumpur di teluk yang tidak ditumbuhi lamun dan mangrove (daerah kosong tanpa vegetasi).

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, Nagelkerken et al., (2000) melaporkan bahwa beberapa spesies ikan menggunakan daerah lamun dan mangrove sebagai daerah asuhan tempat membesarkan juvenile (nursery ground). Kelimpahan dan kekayaan jenis (species richness) tertinggi ditemukan di daerah padang lamun dan daerah berlumpur yang sekelilingnya ditumbuhi oleh vegetasi mangrove. Sedangkan kelimpahan dan kekayaan jenis terendah ditemukan pada daerah berlumpur yang tidak memiliki vegetasi. Daerah padang lamun dan mangrove menjadi tempat perawatan dan pembesaran juvenile yang bersifat obligat bagi spesies ikan : Ocyurus chrysurus dan Scarus iserti. Daerah padang lamun tanpa mangrove menjadi daerah nursery ground obligat bagi Haemulon parrai, Haemulon sciurus, Lutjanus apodus, Lutjanus griseus, Sparisoma chrysopterum dan Sphyraena barracuda. Daerah berlumpur yang ditumbuhi lamun dan mangrove menjadi daerah nursery ground obligat bagi Lutjanus analis. Daerah padang lamun dan mangrove menjadi daerah nursery ground fakultatif bagi Chaetodon capistratus, Gerres cinereus, Haemulon flavolineatum dan Lutjanus mahagoni.

Keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang menciptakan suatu variasi habitat yang mempertinggi keanekaragaman jenis organisme. Hal ini membuktikan adanya pengaruh tepi (edge effect) seperti tampak pada penelitian Nagelkerken et al. (2000). Adanya variasi habitat menciptakan daerah tepi yang saling tumpang tindih. Hal ini menimbulkan suatu daerah pertemuan antar spesies sehingga meningkatkan keanekaragaman jenis organisme di daerah tersebut. Sedangkan di daerah yang memiliki habitat  seragam atau tidak memiliki vegetasi hanya mendukung sedikit organisme. D’Avanzo dan Musante (2004), menyatakan bahwa beberapa species ikan terumbu karang melakukan migrasi bolak balik antara terumbu karang, lamun dan mangrove. Sedangkan Mumby (2006), menyatakan bahwa biomassa dari jenis ikan terumbu karang akan meningkat lebih dari dua kali lipat jika komunitas terumbu karang terhubung dengan daerah mangrove yang masih terpelihara dengan baik karena proses reproduksi dan regenerasi tidak terganggu.

Hubungan keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang juga ditunjukkan oleh migrasi ikan karang menuju ke padang lamun dan hutan mangrove. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, Versteegh (2003a, 2003b) melaporkan bahwa berdasarkan waktunya migrasi ikan dapat dibagi menjadi 3 seperti diuraikan di bawah ini:

  1. Migrasi yang dilakukan oleh ikan dari tempat satu ke tempat yang lain sesuai dengan tahapan atau daur hidupnya. Misalnya beberapa jenis dari ikan melakukan migrasi ke estuaria saat masih dalam tahap juvenil dan bermigrasi kembali ke laut dalam saat dewasa.
  2. Migrasi yang dilakukan pada waktu tertentu setiap tahun. Migrasi ini umumnya dilakukan untuk mencari lingkungan baru yang memiliki banyak sumber makanan,  memiliki kisaran suhu tertentu atau mencari tempat untuk memijah dan bertelur. Migrasi ini  dikenal sebagai migrasi musiman.
  3. Migrasi yang dilakukan setiap hari. Migrasi ini umumnya dimulai saat senja. Beberapa jenis ikan yang bersifat nocturnal (aktif pada malam hari) bergerak dari tempat beristirahat di gua-gua atau di daerah terumbu karang menuju perairan yang lebih dangkal seperti daerah lamun dan mangrove untuk mencari makan. Saat fajar ikan-ikan tersebut akan melakukan migrasi kembali ke tempat yang lebih dalam untuk beristirahat di gua atau di daerah terumbu karang. Migrasi ini disebut migrasi senja (twilight migration). Adapula ikan yang melakukan migrasi mengikuti pola pasang surut. Ikan-ikan dari daerah terumbu karang atau ikan dari laut terbuka akan bergerak menuju padang lamun dan mangrove saat pasang naik untuk mencari makan dan akan kembali saat surut. Migrasi ini disebut migrasi pasang surut (tidal migration).

Bukti adanya migrasi harian dari ikan karang menuju ke ekosistem  lamun telah dilaporkan oleh Beets et.al., (2003). Hasil penelitian yang dilakukan terhadap ikan karang dari jenis “Bluestriped Grunt” Haemulon sciurus dewasa dan juvenil dengan menggunakan tagging pasif dan telemetri sonik menunjukkan adanya pergerakan jenis ikan tersebut dari daerah terumbu karang menuju ke padang lamun pada malam hari. Namun tidak dilaporkan aktivitas apa yang dilakukan oleh ikan tersebut di daerah lamun. Akan tetapi kuat dugaan bahwa ikan dewasa melakukan migrasi untuk mencari makan sedangkan ikan juvenil untuk berlindung dari pemangsa.

Upston dan Booth (2003), melakukan penelitian dengan menggunakan habitat buatan yang berisi lamun tiruan (artificial seagrass) untuk menentukan penyebab bermigrasinya ikan menuju ke padang lamun. Lamun buatan/tiruan tersebut ditempatkan pada daerah yang berdekatan dengan komunitas lamun alami dari jenis Zostera capricorni di Teluk Botany New South Wales, Australia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ikan “Tarwhine”  Rhabdosargus sarba mendominasi populasi ikan pada habitat buatan dan alami. Juvenil dari berbagai jenis ikan juga ditemukan di habitat buatan dari lamun artificial setelah di pasang selama 6 hari. Karena daun lamun tiruan tidak memungkinkan untuk menjadi bahan makanan bagi ikan, maka kuat dugaan bahwa sebagian besar ikan yang yang ada di habitat buatan tersebut memanfaatkan komunitas lamun tiruan tersebut sebagai tempat untuk berlindung. Namun, perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah habitat lamun buatan digunakan sebagai tempat untuk mencari makan, mengingat juvenil ikan umumnya hanya memakan Zooplankton atau organisme invertebrata yang melekat pada daun lamun yang asli (Upston dan Booth 2003).

Dari  proses migrasi yang telah diuraikan di atas dapat diketahui bahwa banyak jenis ikan membutuhkan beberapa ekosistem yang berbeda untuk hidup. Dengan demikian, hilangnya satu ekosistem akan merugikan banyak spesies organisme laut. Jika ekosistem mangrove atau lamun hilang, maka banyak organisme yang hidup di daerah terumbu karang atau laut dalam yang akan mengalami kerugian karena kehilangan tempat untuk mencari makan, memijah, membesarkan anak dan berlindung dari pemangsa. Adanya keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang menyediakan ruang yang lebih luas dan habitat yang lebih bervariasi. Hal ini berarti akan meningkatkan daya dukung bagi kehidupan organisme serta menciptakan suatu rantai makanan dan jaring-jaring makanan yang lebih kompleks. Tidak mengherankan apabila keanekaragaman jenis organisme laut relatif tinggi di daerah pertemuan antara ketiga ekosistem tersebut.

Beberapa jenis burung yang hidup di daerah mangrove memanfaatkan padang lamun sebagai tempat mencari makanan saat surut. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk keterkaitan secara biologis antara ekosistem mangrove dengan ekosistem padang lamun. Jenis-jenis organisme yang menjadi bahan makanan bagi bangau terdiri dari hewan invertebrata kecil seperti udang, ikan, cacing polychaeta, siput dan kerang yang terbenam di dalam pasir atau melekat di daun lamun. Kehadiran burung-burung tersebut juga menciptakan suatu keterkaitan secara kimiawi dalam bentuk siklus nitrogen dimana konsentrasi N yang ada di daerah padang lamun akan dipindahkan ke hutan mangrove. Ikan yang dimakan bangau mengandung banyak protein yang akan dicerna dan diterima oleh mangrove dalam bentuk feses (kotoran burung).


sumber :  Eckoeffendi on August 1, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar